Selasa, 24 Maret 2009

Guru dan Pentingnya Organisasi Profesi, Suara Guru,No. 5 Edisi Spesial HUT 63 PGRI (Desember 2008)

oleh; Ajeng Kania

Organisasi guru terbesar dan tertua di republik ini, PGRI, telah melangsungkan Kongres XX di Palembang beberapa bulan lalu. Dr. Sulistiyo dan H. Sahiri Hermawan, SH, MH terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PB-PGRI 2008-2013.

Berita sejuk tentang dunia pendidikan cukup menyegarkan kalangan guru menjadi menu sehari-hari media cetak di tanah air. Profesi guru kini menjadi perbincangan di panggung politik bangsa. Profesi guru pun kembali diletakkan pada posisi dan tempat sebenarnya. Untuk memperjuangkan, memajukan korps, dan melindungi kalangan guru, guru-guru harus memiliki wadah organisasi sesuai tuntutan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 41 (3) disebutkan guru wajib menjadi anggota organisasi profesi, meningkatkan kompetensi, karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesim kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan kata lain organisasi profesi didirikan dan diurus dari guru, oleh guru, dan untuk guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

Profesi yang terdegradasi,
Profesi guru bertahun-tahun mengalami degradasi kualitas dan citra. Minimnya penghargaan terhadap guru membuat siswa-siswa di SMA tidak banyak tertarik menjadi guru. Siswa-siswi yang berprestasi cenderung memilih jurusan populer yang menjanjikan seperti: teknik, kedokteran, hukum, atau ekonomi. Hal ini dilemahkan oleh maraknya perguruan tinggi pencetak guru IKIP) banting stir menjadi universitas.

Profil guru jauh dari sejahtera. Pas seperti digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagu "Umar Bakri"-nya. Dengan gaji kecil, seorang guru terbiasa bergelut dengan waktu mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Adalah lumrah bila seorang guru menyambi mengojek, menjadi supir, atau menjadi juru parkir. Karena beban kebutuhan hidup tinggi, guru banyak menyekolahkan SK-nya. Dalam kondisi ini memaksa guru mencari tambahan dengan memberikan les di sekolah dan menjual buku pelajaran. Sebagai kepanjangan tangan pihak penerbit, buku dijual dengan nuansa pemaksaan dan ancaman kepada siswa demi meraih target tertentu, menjadikan guru "bulan-bulanan' kegundahan masyarakat.

Sementara kondisi faktual di lapangan, profsi guru banyak dijadikan dermaga alternatif bagi mereka dalam tahap menunggu atau gagal mendapatkan pekerjaan yang layak di tempat lain. Seseorang begitu mudahnya menjadi guru, meskipun tanpa bekal ilmu keguruan yang memadai. Akibatnya ada oknum guru diberitakan terlibat dalam kekerasan, minuman keras, narkoba atau tersangkut perbuatan asusila.

mengangkat harkat dan martabat guru
Era UUGD dapat dijadikan pijakan sekaligus momentum untuk mengangkat harkat dan martabat guru. Sebagai pekerjaan profesi, sama halnya dokter, notaris, advokat, dan sebagainya. Bila seseorang disebut dokter, ia harus menempuh program sarjana kedokteran (S.Ked) dilanjutkan pendidikan profesi dua tahun sehingga meraih gelar dokter (dr) dengan memiliki kecakapan teruji di bidang medis. Seorang notaris harus dilalui setelah seseorang menempuh jurusan ilmu hukum dilanjutkan dengan pendidikan profesi sehingga dinyatakan sebagai notaris dengan memiliki tugas dan kewenangan yang melekat pada dirinya.

Begitu pun seorang guru, harus melalui sejumlah persyaratan pendidikan dan pelatihan profesi ilmu keguruan yang panjang sehingga mendapatkan kewenangan profesional sebagai guru. Profesi guru ke depan tidak lagi asal-asalan, tapi menuntut sejumlah kompetensi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Seorang guru harus mencurahkan jiwanya, memiliki kecintaan akan profesinya dan dicerminkan dari penampilan, dedikasi, pengabdian dan tanggung jawab sebagai guru.

Untuk memajukan, melindungi, dan menyalurkan aspirasi, guru harus memiliki organisasi yang kuat dan disegani. Karakteristik organisasi kuat, menurut H.M. Surya, umumnya ditandai : (a) memiliki solidaritas yang tinggi; (b) pengurus dan anggota berkualitas, berkomitmen, dan terlatih dengan baik; (c) kuat dalam daya tawar dan negosiasi; (d) kuat dalam lobi dan advokasi; (e) kuat dalam aliansi dan jaringan kerja dengan stkeholder lain dan (f) diakui dan dihargai oleh pemerintah dan masyarakat.

Organisasi profesi diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang menampung aspirasi, memelihara citra, mengembangkan profesionalisme guru dan wadah perjuangan guru mendapatkan segala haknya. Asumsi semakin kuat organisasi profesi ditandai semakin tinggi pengakuan masyarakat dan secara politis semakin tinggi daya tawarnya. Denagn posisi tawar (bargaining position) kuat, guru memiliki akses dalam perumusan kebijakan pemerintah, khususnya dalam bidang pendidikan. Kontribusi guru sebagai praktisi pendidikan turut berperan dalam mewujudkan pendidikan bermutu.

Dengan adanya organisasi profesi, setiap anggota mendapat perlindungan dalam mewujudkan profesionalitasnya secara terarah dan efektif dalam suasana aman dan kondusif. Bergabungnya guru dalam wadah organisasi profesi merupakan wujud terpenuhinya persyaratan sebagai pemangku profesi jabatan guru sehingga guru mendapatkan jaminan untuk berkinerja secara optimal. Organisasi profesi dibekali kode etik sebagai standar ideal dijadikan rujukan guru dalam berperilaku untuk dipenuhi anggotanya serta dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

pelayanan dan pemberdayaan anggota,
Beberapa persoalan dicermati penulis masih menjadi pekerjaan rumah berkaitan tugas dan fungsi PGRI. Selama ini pelayanan dasar seperti mendapatkan informasi seberapa penting menjadi anggota, cara administrasi menjadi anggota atau sekadar mendapatkan nomor dan kartu anggota masih susah didapat. Di tingkat ranting sebagai ujung tombak eksistensi organisasi, irama dan denyut kegiatan organisasi masih kurang bergema atau partisipasi melibatkan kegiatan anggotanya. Keanggotaan PGRI tampaknya masih sebatas formalitas belaka. Bahkan ada pameo, kegiatan yang dikenal guru-guru hanya sebatas penggalangan dana menjadi peserta seminar, pengadaan jaket atau seragam dan upacara hari-hari besar.

Kondisi itu barangkali menjadi salah satu jawaban mengapa kesadaran kritis guru dalam berhimpun dalam organisasi profesi masih lemah? Di lapangan banyak guru yang belum menjadi anggota, skeptis, dan kalaupun terdaftar belum memiliki fanatisme dan rasa memiliki yang tinggi. Akibatnya keanggotaan pun abu-abu, apalagi tanpa didukung administrasi yang baik.

Dalam hal ini, tampaknya sosialisasi pentingnya menjadi anggota profesi harus intensif dikomunikasikan kepada guru dan tenaga kependidikan yang belum menjadi anggota. Pengurus pun harus memiliki kesiapan menyambut kedatangan anggota baru. Pendataan dan sistem adimistrasi maupun kepemilikan kartu anggota harus dibenahi sebelum berbicara lebih jauh mengenai pelayanan,hak dan kewajiban, serta AD/ART.

Tantangan PGRI ke depan agar lebih mendekatkan berbasis pelayanan kepada anggota dalam memperoleh kesejahteraan, memfasilitasi kemudahan memiliki hunian dan kendaraan bagi guru, memacu guru berprestasi dan melanjutkan studi, dan melindungi guru dari ancaman,pelecehan, atau korban ketidakadilan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pemberdayaan guru sebagai insan berkualitas. Tantangan di era digital ini, guru bukan cuma berdiri di depan kelas, tapi memerlukan pelatihan dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi yang baik. Guru pun harus terus belajar dan mau berubah sesuai tuntutan zaman.

Di bawah kepemimpinan Pengurus PB PGRI yang baru, PGRI diharapkan mampu memainkan peranan sebagai mitra pemerintah dan tetap kritis menyikapi kebijakan kurang berpihak kepada guru dan dunia pendidikan. Dengan demikian, harapan terciptanya dunia pendidikan berkualitas, guru sejahtera, dan bermartabat kian mendekati kenyataan. Semoga!

Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 04
Kec. Cibiru - bandung - Jawa Barat
Pengurus AGP PGRI Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar