Senin, 15 November 2010

Orang Tua Tularkan Kebiasaan Merokok pada Anak, Tribunjabar, Jum'at 29 Juli 2008

oleh : Ajeng Kania


ROKOK tampaknya sudah menjadi barang wajib bagi masyakat kita. Bagi penikmatnya, rokok identik dengan lambang pergaulan, kenikmatan, penghilang stres, dan simbol sebuah kepuasan. Imbauan pemerintah tentang larangan merokok dengan mempersempit ruang gerak perokok terbukti tidak manjur. Alih alih menghentikan, kebiasaan merokok merangsek meracuni anak anak pada usia sekolah.

Hampir semua orang paham, kebiasaan merokok selain berbahaya bagi dirinya juga memengaruhi kesehatan orang di sekitarnya. Kalau ditelaah, sebatang rokok mengandung 4.000 elemen dan setidaknya ada 200 elemen yang membahayakan tubuh. Tar, zat yang terdapat dalam rokok, bersifat lengket dan menempel di paru-paru. Zat aditif nikotin bertanggung jawab pemicu kanker paru paru yang mematikan. Dan karbondioksida zat mengikat hemoglobin sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen yang bikin sesak napas.

Menurut Pusat Data dan Informasi Depkes RI, di Indonesia 70 persen penduduknya perokok aktif. Dilihat dari sisi rumah tangga, 57 persen memiliki anggota yang merokok. Dan hampir semua perokok itu biasa melakukannya di dalam rumah bersama keluarganya. Ini berarti hampir semua orang di Indonesia bisa dikatakan perokok pasif.

Yang memprihatinkan, kini usia perokok terus bergeser ke kalangan remaja dan anak anak. Jika pada tahun 1970 perokok termuda adalah kelompok usia 15 tahun, di tahun 2004 usia perokok bergeser ke usia 7 tahun. Temuan ini berdasarkan Sensus Sosial Nasional (2004), yang menunjukkan perokok aktif kelompok usia 13 15 tahun mencapai 26,8 persen dan usia 5 9 tahun terdata 1,8 persen.

Persentase ini dihitung dari total populasi setiap kelompok. Lebih mencengangkan lagi sepanjang periode 2001 2004, jumlah perokok aktif dari kalangan usia 5 9 tahun meningkat hingga 400 persen. Seperti dilansir Kompas (11/1) dengan ledakan perokok usia anak, maka diprediksi di tahun 2020 kemungkinan besar profil penderita penyakit akibat merokok di Indonesia adalah generasi yang berusia lebih muda.

Persoalan rokok ibarat pedang bermata dua membuat pemerintah dilematis. Di satu sisi berpotensi terdegradasi kualitas kesehatan masyarakat, namun di sisi lain industri rokok bukan saja tambang pendapatan pemerintah menggiurkan, tapi juga menyerap jutaan tenaga kerja, mulai karyawan, distributor, agen/sales bahkan petani cengkih dan tembakau. Akibatnya, imbauan pemerintah pun tenggelam oleh iklan dan promosi gencar perusahaan rokok, bahkan mampu menjadi penyandang dana kegiatan yang semestinya antirokok seperti even olahraga, pentas kreativitas siswa, dan beasiswa.


Rokok Bukan Konsumsi Anak-anak
Mungkin inilah win win solution (jalan tengah) antara pemerintah dan industri rokok menyikapi persoalan yang tak berkesudahan ini ketimbang kebijakan ekstrem menutup pabrik rokok. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas mengatur larangan merokok di kalangan anak anak, meliputi aspek: larangan kepada anak untuk mengonsumsi rokok, menjual rokok kepada anak, penjualan rokok oleh anak, serta pengaturan ketat terhadap iklan dan promosi rokok, khususnya di kawasan pendidikan.

Saat ini sesungguhnya Indonesia telah memiliki aturan pembelian rokok, yaitu anak di bawah usia 18 tahun tidak dibolehkan membeli rokok. Akan tetapi, aturan itu hanya sebuah slogan semata yang hampir tanpa efek sama sekali. Untuk melindungi korban anak, beberapa organisasi sosial seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan FK PPAI merekomendasikan perlu undang undang larangan merokok bagi anak anak. Upaya ini diharapkan cukup efektif untuk menekan peredaran rokok yang semakin tak terkendali di kalangan remaja dan anak anak.

Untuk itu, pemerintah dituntut tegas menjalankan aturan sehingga aturan itu tegak dan berwibawa. Sebagus apa pun aturan, bila yang menjadi "teladan" bagi mereka, seperti orang tua, guru, atau pejabat, masih mempertontonkan kebiasaan merokok di hadapan mereka, aturan itu akan sia sia belaka. Di samping pergaulan sesama kawannya, secara tidak sadar, habituasi anak merokok diperkenalkan oleh orang tuanya sendiri. Seorang ayah terbiasa menyuruh membelikan rokok atau meminta anak menyalakan rokok dengan cara diisap dulu untuk dirinya.

Sulit menyuruh agar anak tidak merokok jika sehari hari menjumpai sang ayah tengah menikmati sebatang rokok ditemani secangkir kopi hangat di kursi malasnya. Sementara guru di kelas atau guru agama tidak bisa berkonsentrasi mengajar tanpa tarikan asap rokok. Ataupun begitu asyiknya pejabat atau anggota dewan memainkan kepulan asap rokoknya saat dengar pendapat atau berdiskusi yang disorot jutaan pemirsa televisi di tanah air.

Semua itu menjadi bahan renungan, mengapa anak anak usia sekolah menyukai rokok? (*)

Penulis, Guru SDN Taruna Karya 04 Cibiru Bandung

Kamis, 16 September 2010

Hikmah Kegiatan Menulis Bagi Guru, Republika, 1 September 2010

Oleh Ajeng Kania, Guru SDN Cibiru 5 Kota Bandung



Senin (16/8) petang, penulis mendapat telepon dari staf Pusat Informasi dan Humas
(PIH) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Dia mengabarkan bahwa artikel penulis di rubrik Akademia, Republika, menjadi salah satu pemenang. Penulis diundang untuk menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) di Jakarta.

Awalnya, penulis hampir tidak percaya karena tidak sedang mengikuti lomba atau sayembara. Staf PIH menerangkan bahwa dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010, Kemendiknas menyelenggarakan penilaian karya jurnalistik bidang pendidikan pada sejumlah artikel bertema pendidikan yang dimuat di media-cetak dalam kurun waktu satu tahun (Juni 2009 - Mei 2010).

Artikel penulis berjudul "Ciptakan Pembelajaran Menginspirasi", dimuat rubrik Akademia, Republika, Rabu, 10 Juni 2009, terpilih sebagai Pemenang III dari 649 naskah artikel yang dinilai dari berbagai media cetak Tanah Air. Penghargaan itu diberikan untuk karya jurnalistik kategori artikel reguler (nonlomba). Ternyata, artikel guru tentang pendidikan di sejumlah media cetak selama setahun secara diam-diam dikliping oleh PIH dan diberi penilaian oleh tim juri yang ditunjuk.

Tentu suatu kabar menggembirakan terutama bagi guru yang biasa menulis di media cetak. Dalam sekapur sirih pemberian penghargaan, Mendiknas M Nuh mengutarakan bahwa memberikan penghargaan harus ditradisikan Kemendiknas, bahkan kalau perlu dilembagakan sebagai upaya membangun budaya apresiatif positif bagi insan berprestasi.

Sekjen Kemendiknas Dodi Nandika menyatakan, kegiatan ini diberikan bagi insan pers (termasuk guru penulis) yang telah membantu mengedukasi masyarakat melalui karya jurnalistik. Pemberian penghargaan dapat dimaknai dalam tiga dimensi. Yaitu, untuk terus berkarya dan menularkan serta memberi motivasi kepada sejawat, tetap mempertahankan dan menjaga hasil telah dicapai, dan terus-menerus belajar.


Ruang

Bila dicermati, kini sejumlah media cetak memiliki sisipan rubrik khusus guru, seperti Akademia di Republika. Para guru memiliki ruang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikan pendapat tentang hal-hal dialaminya seputar pendidikan.

Pemuatan karya guru di media publik dapat menjadi umpan-balik yang amat positif bagi pribadi guru dalam membangun rasa percaya diri, memiliki kebanggaan dan kepuasan, menjadi pribadi terbuka, dan kesiapan menerima kritik atau pujian.

Pengaruh positif lainnya, mampu memotivasi untuk menghasilkan karya lebih baik lagi, bersifat kritis, dan bersiap diri memperkuat diri menghadapi tantangan. Karena untuk membuat suatu tulisan yang berkualitas dibutuhkan data penunjang. Hal ini akan mendorong untuk terus mencari, menambah pengetahuan dan wawasan, serta senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi.

Oleh karena itu, membaca akan menjadi kebiasaan paling mendasar yang dimiliki para penulis agar kelak menjadi penulis berkualitas. Selanjutnya, berpikir adalah suatu proses menghubungkan data, fakta, atau konsep dari hasil kegiatan membaca. Dari hasil proses berpikir ini akan dihasilkan sintesis-sintesis baru sebagai produk berpikir orisinal dalam bentuk tulisan.

Guru yang sering menulis tidak hanya kaya akan pengetahuan dan berwawasan luas, tetapi juga akan lebih peka terhadap kondisi di sekitarnya. Kepekaan terbentuk karena mereka terbiasa menajamkan mata dan telinga untuk menyimak dan menelisik segala peristiwa yang ada di sekitarnya.

Meskipun dengan menulis membentuk sikap kritis, penulis tidak boleh menghakimi atau berpandangan negatif dalam menanggapi sesuatu. Penulis dituntut untuk meneliti apa yang ada di balik suatu kejadian, menguraikannya, dan menuliskannya secara sistematis.

Proses ini mendorong seorang penulis terbiasa berpikir positif. Proses menulis dapat pula melahirkan jiwa struggle dan kompetitif. Sikap itu diperlihatkan agar tulisannya menjadi layak muat, terus berusaha tahan uji, serta tidak lekas bosan atau menyerah.

Guru merupakan bagian komunitas cendekia yang dinantikan kreativitas dan hasil pemikiran-pemikirannya yang inovatif dan memberi pencerahan bagi masyarakat. Untuk menyosialisasikan, menguji, dan mendapat pengakuan masyarakat, hasil penelitian dan pemikiran tersebut harus dibubuhkan dalam bentuk tulisan.

Melalui media cetak salah satunya, hasil tulisan itulah disebarluaskan untuk dibaca dan diuji oleh publik. Dengan menulis pula, guru turut berkontribusi dengan berbagi pengalaman, merajut silaturahim, serta membangun basis nilai dan budaya di masyarakat. (**)

Ciptakan Pembelajaran Menginspirasi, Republika, 10 Juni 2009


oleh : Ajeng Kania, Guru SD Negeri Cibiru 5 Kota Bandung

Seorang guru profesional, guru wajib memotivasi dan menjaga semangat belajar siswa. Dalam proses pembelajaran di kelas, guru dapat menyisipkan pembelajaran inspiring berupa pengalaman, ilustrasi dan cerita yang menggugah sehingga bisa menjadi pemantik bagi siswa dalam menyalakan bakat terpendamnya.

Kita sering mendapati siswa mengeluh karena kesulitan dalam mengikuti suatu pelajaran atau tidak menyenangi kegiatan belajar. Mereka menganggap belajar suatu beban. Di sisi lain, mereka mengganggap belajar di sekolah sebagai rutinitas semata. Akibatnya situasi dan kondisi kelas sehari-hari menjenuhkan (monoton), sementara bagi siswa hari-hari terasa hampa karena dalam belajar tidak ada target dan tujuan.

Gejala kegelisahan ini dicermati pada siswa kelas 6, 9 atau 12. Bagi siswa di kelas tersebut, mereka tidak saja berhadapan dengan lulus atau tidak, tetapi dihadapkan dengan pilihan jenjang studi berikutnya. Pilihan jenjang studi ini erat kaitannya dengan minat, potensi dan talenta mereka. Artinya, jika mereka memilih jenjang sekolah sesuai dengan minat dan nuraninya, maka kegiatan belajar selanjutnya akan dijalani dengan suasana menyenangkan. Sementara bagi yang salah jurusan, akan berubah bagai “penjara” yang menyiksa.

Namun hal ini tidak akan terjadi bila siswa telah memiliki arah dan tujuan sejak belia. Untuk menyalakan talenta dan potensi mereka, diperlukan suatu pembelajaran yang menginspirasi. Ini bisa dilakukan dengan pembelajaran ini dilakukan di dalam atau di luar kelas. Guru dapat menyisipkannya dalam mata pelajaran apa pun. Dengan pembelajaran menggugah ini akan berdampak dalam memacu semangat belajar siswa. Pencitraan positif melalui figur, tokoh, atau kejadian yang dikisahkan dan dialami secara langsung dapat menjadi inspirasi luar biasa dalam menyalakan potensi talenta yang terpendam dalam diri siswa.

Tokoh Emil Salim, misalnya, saat duduk di bangku SD sangat terkesan oleh kisah gurunya mengenai kehebatan dan kekayaan dimiliki oleh sebuah hutan. Momen itu sangat membekas dan menjadi visi hidup sekaligus cita-citanya mengakrabi hutan dan lingkungan. Buah kerja kerasnya, mengantarkan dirinya sukses menjadi Menteri Lingkungan Hidup selama 15 tahun. Ia pun dikenal sebagai tokoh perintis lembaga pengelola lingkungan hidup di Indonesia (Guruku, Ed. April 2009).

Begitu pula, Presiden SBY, semasa kecil sangat terkesan tatkala diajak sang ayah mengunjungi Ksatrian AMN, Magelang tahun 1961. Kejadian telah memberi dorongan besar dirinya menjadi taruna Akabri yang kemudian sukses membawa kariernya menempati orang nomor satu di Republik ini.

Pembelajaran menginspirasi mampu membukakan mata hati dan menggugah siswa untuk memantapkan cita-citanya sebagai arah tujuan hidupnya kelak. Hal inilah akan menumbuhkan motivasi luar biasa sehingga memberi kekuatan dan energi untuk meraihnya. Motivasi menurut Abin Syamsudin (2000) merupakan suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu baik disadari maupun tidak. Motivasi itu dapat muncul baik dari diri individu maupun dari luar.

Dari kedua motivasi itu menurut Brown (2000) bahwa motivasi intrinsik (instrinsic motivation) lebih kuat daripada motivasi ekstrinsik (extrinsic motivation). Dengan motivasi intrinsik yang kuat, secara sadar siswa akan berpikir dirinya perlu dan harus belajar untuk meraih prestasi terbaik dan cita-cita diinginkan. Tentu saja dengan ada atau tanpa adanya “iming-iming” berupa hadiah, nilai, pujian atau jenis hukuman.

Sesungguhnya manusia dianugrahi Allah SWT berupa potensi dan bakat dalam dirinya. Namun bakat itu ada yang mucul dan berkembang sehingga menjadi investasi berharga di masa depan, tetapi ada pula yang layu sebelum berkembang.

Proses pendidikan di sekolah, pada hakikatnya sebagai upaya merangsang nyala lampu-lampu kode genetik bakat dan talenta yang terpendam. Tugas gurulah untuk menyalakannya, di antaranya dengan memberikan pembelajaran menginspirasi. Kisah-kisah tokoh besar atau negarawan lahir dari kalangan rakyat jelata, ternyata bukan saja bisa mengubah nasib dirinya, tapi juga bangsanya. Begitu juga pengabdian dan prestasi masyarakat biasa yang mampu meraih kalpataru, upakarti, atau sejumlah prestasi di tengah keterbatasan merupakan cerita inspiring yang menarik dieksplorasi keteladanan dan semangat juangnya.

Tentunya, agar mampu menyajikan pembelajaran menginspirasi, guru harus banyak memiliki pengalaman, meneliti maupun aktif di kegiatan sekolah dan masyarakat sehingga membekali kemampuan dan keilmuan. Kekayaan pengalaman dan wawasan ini akan menjadikan guru laksana pelita tak pernah padam dan selalu menerangi siswanya. (**)

Senin, 30 Agustus 2010

MENGOPTIMALKAN BAKAT, Republika, 19 Agustus 2009

Oleh: Ajeng Kania

ADA SEBUAH PERTANYAAN, mengapa Chris John (petinju), Bambang Pamungkas (pesepakbola), Najwa Shihab (presenter), Luna Maya (aktris), Mario Teguh (motivator), atau Aming Extravaganza (komedian) bisa sukses dan eksis di bidang berbeda?



Pada umumnya orang tua atau guru memandang bahwa kepintaran seorang siswa diukur oleh kemampuan akademik, terutama penguasaan bidang eksakta. Tak heran, siswa yang tak cakap mata pelajaran ini acapkali tersisihkan. Mereka dianggap tidak cerdas dan sering menerima predikat bodoh. Padahal bila diresapi, Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna (QS:At-Tiin; 4)). Begitu pun Allah SWT menciptakan manusia dalam perbedaan baik golongan suku dan bangsa (QS Al Hujuraat: 13).

Hal ini mengisyaratkan bahwa sebagai makhluk sempurna, manusia dilahirkan sekaligus dianugrahi kecerdasan dan bakat berbeda-beda sebagai bekal hidupnya. Lingkungan dan sentuhan sekelilingnya akan memoles sehingga bakat itu dapat terkelola menjadi investasi menguntungkan dirinya atau tidak.

Pakar psikologi, Howard Gardner dalam buku terkenalnya, Frime of Mind, memaparkan pandangannya tentang kecerdasan berganda (multiple-intelligence) yang revolusioner. Gardner menolak terhadap pandangan mengenai IQ (intelligence quotient) yang sejak awal abad ke-20 dipakai sebagai satu-satunya alat ukur kecerdasan monolitik.

Kesalahan terbesar tes IQ adalah menyamakan logika dengan kecerdasan keseluruhan, padahal logika hanyalah salah satu bentuk pemikiran. Menurutnya, paling tidak ada tujuh sprektrum kecerdasan utama membekali seseorang untuk meraih sukses, yaitu : kecerdasan linguistik, visual-spasial, matematika-logika, musik, kinestetis, interpersonal dan intrapersonal.

Kecerdasan diyakini sebagai dasar dan kunci seseorang untuk mencapai kesuksesan kelak. Bolehlah warna baju sekolah mereka seragam, tetapi para siswa tak ubahnya bibit-bibit bunga memiliki pesona harum wangi, warna, bentuk dan keeksotikan tersendiri.

Keragaman ini dicerminkan oleh minat dan hobi sebagai representasi bakat dimilikinya. Ada siswa memiliki suara bagus dan senang menyanyi. Ada yang cakap memimpin (leadership) kerap dijadikan ketua kelas. Ada siswa hobi menulis, dibuktikan oleh paparan bahasa ceritanya mengalir, jernih, enak dibaca dan hidup. Ada yang pandai berorasi, melukis, berpetualang, olahraga, dsb. Bakat dimiliki para siswa, sesungguhnya anugrah Allah SWT untuk dikelola sehingga melahirkan sumberdaya manusia unggul dan ahli di bidangnya.

Kejelian dalam mengidentifikasi, memetakan, dan mengelola talenta ini bakal menguntungkan sebagai investasi masa depan. Kita bisa berkaca pada peristiwa peluncuran pesawat ruang angkasa Soviet, Sputnik (1957) seolah menjadi cambuk bagi pemerintah AS.

Merasa kalah langkah, Presiden AS, John F. Kennedy segera memerintahkan penjaringan dan penelurusan anak berbakat secara besar-besaran di seluruh negeri AS melalui program nasional dikenal talent scouting. Siswa-siswa berbakat direkrut, difasilitasi, dan dikembangkan sesuai talentanya. Melalui program itu, dunia dibuat takjub, hanya dalam rentang waktu dua belas tahun AS mampu menyalip Soviet melalui pendaratan manusia pertama di bulan, yaitu tahun 1969.

Banyaknya peserta didik kita melewatkan potensi bakatnya karena tidak tersalurkan sehingga ditelan oleh umur, jelas amat merugikan. Dengan pelayanan memadai, muncul potensi-potensi luar biasa melahirkan mahakarya sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu, makin awal identifikasi bakat memberikan hasil semakin baik, karena besar kemungkinan anak mendapat bimbingan yang tepat.

Di samping itu untuk menghindari salah perlakuan serta efesiensi dari penghamburan waktu, tenaga atau biaya. Sebenarnya, orang tua dapat mendeteksi keberbakatan anaknya dengan membuat catatan perkembangan anak. Mereka dapat mengamati aspek motorik, bahasa, emosi, mental, kreativitas, intelegensi umum (daya tangkap, abstraksi), interes khusus dan kemampuan menonjol lainnya (menggambar, musik, dsb) sejak belia.

Ketika memasuki usia sekolah, guru memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengamati dan mengidentifikasi anak-anak berbakat. Hal itu dilakukan melalui observasi sehari-hari, baik spontanitas maupun secara sistematis melalui kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.

Setiap sekolah seyogianya dilengkapi buku khusus mengenai data anak berbakat meliputi informasi: (a) riwayat hidup; (b) keadaan kesehatan; (c) kepribadian (tanggung jawab, emosional, kehidupan religius, dsb); (d) kapasitas intelektual (bahasa, berpikir kritis, daya tangkap, analisa, dsb); (e) prestasi akademik; (f) bakat khusus dan prestasi non-akademik; (e) hobi.

Agar proses identifikasi ini lebih objektif dan akurat, identifikasi ini diteruskan dengan tes psikologis standar seperti: tes intelegensi, tes kreativitas dan tes personaliti. Tentu tes ini harus dilakukan bersama psikolog sehingga interpretasinya dipertanggungjawabkan.

Untuk memupuk bakat itu, diperlukan ruang beraktualisasi memadai untuk tumbuh-kembang. Sekolah dapat memberi sarana berlatih bagi siswa dengan menyediakan fasilitas unit kegiatan ekstrakurikuler, dana, atau instruktur. Termasuk ruang beraktualisasi lebih bergengsi, seperti: kompetisi olahraga antar-kelas, Pentas Seni, Lomba Mengarang dan Puisi, dsb. Even ini sangat baik untuk memotivasi, mengukur prestasi, bahan evaluasi, dan memperkaya pengalaman serta membentuk mental siswa tampil di ruang publik.

Sedangkan, orang tua dapat mengakomodasi bakat anaknya dengan memasukkannya ke sanggar, klub, atau privat secara khusus. Melalui pembinaan dan pelayanan terprogram didukung dengan sarana dan metode memadai, serta instruktur profesional memungkinkan bakat berkembang optimal.

Kerja keras dan latihan panjang akan mengasah bakat siswa semakin cemerlang. Seperti Chrisjon dan kawan-kawan, mereka adalah orang-orang yang mampu mengelola dan memanfaatkan bakatnya pada tempat yang sesuai sehingga memberi makna bagi hidupnya.

Bukan saja membuat dirinya terkenal, tapi mengangkat citra harum daerah dan bangsanya. (**)

Penulis,
Guru SDN Cibiru 5 Kota Bandung

Selasa, 24 Maret 2009

Guru dan Pentingnya Organisasi Profesi, Suara Guru,No. 5 Edisi Spesial HUT 63 PGRI (Desember 2008)

oleh; Ajeng Kania

Organisasi guru terbesar dan tertua di republik ini, PGRI, telah melangsungkan Kongres XX di Palembang beberapa bulan lalu. Dr. Sulistiyo dan H. Sahiri Hermawan, SH, MH terpilih sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PB-PGRI 2008-2013.

Berita sejuk tentang dunia pendidikan cukup menyegarkan kalangan guru menjadi menu sehari-hari media cetak di tanah air. Profesi guru kini menjadi perbincangan di panggung politik bangsa. Profesi guru pun kembali diletakkan pada posisi dan tempat sebenarnya. Untuk memperjuangkan, memajukan korps, dan melindungi kalangan guru, guru-guru harus memiliki wadah organisasi sesuai tuntutan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 41 (3) disebutkan guru wajib menjadi anggota organisasi profesi, meningkatkan kompetensi, karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesim kesejahteraan dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan kata lain organisasi profesi didirikan dan diurus dari guru, oleh guru, dan untuk guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.

Profesi yang terdegradasi,
Profesi guru bertahun-tahun mengalami degradasi kualitas dan citra. Minimnya penghargaan terhadap guru membuat siswa-siswa di SMA tidak banyak tertarik menjadi guru. Siswa-siswi yang berprestasi cenderung memilih jurusan populer yang menjanjikan seperti: teknik, kedokteran, hukum, atau ekonomi. Hal ini dilemahkan oleh maraknya perguruan tinggi pencetak guru IKIP) banting stir menjadi universitas.

Profil guru jauh dari sejahtera. Pas seperti digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagu "Umar Bakri"-nya. Dengan gaji kecil, seorang guru terbiasa bergelut dengan waktu mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Adalah lumrah bila seorang guru menyambi mengojek, menjadi supir, atau menjadi juru parkir. Karena beban kebutuhan hidup tinggi, guru banyak menyekolahkan SK-nya. Dalam kondisi ini memaksa guru mencari tambahan dengan memberikan les di sekolah dan menjual buku pelajaran. Sebagai kepanjangan tangan pihak penerbit, buku dijual dengan nuansa pemaksaan dan ancaman kepada siswa demi meraih target tertentu, menjadikan guru "bulan-bulanan' kegundahan masyarakat.

Sementara kondisi faktual di lapangan, profsi guru banyak dijadikan dermaga alternatif bagi mereka dalam tahap menunggu atau gagal mendapatkan pekerjaan yang layak di tempat lain. Seseorang begitu mudahnya menjadi guru, meskipun tanpa bekal ilmu keguruan yang memadai. Akibatnya ada oknum guru diberitakan terlibat dalam kekerasan, minuman keras, narkoba atau tersangkut perbuatan asusila.

mengangkat harkat dan martabat guru
Era UUGD dapat dijadikan pijakan sekaligus momentum untuk mengangkat harkat dan martabat guru. Sebagai pekerjaan profesi, sama halnya dokter, notaris, advokat, dan sebagainya. Bila seseorang disebut dokter, ia harus menempuh program sarjana kedokteran (S.Ked) dilanjutkan pendidikan profesi dua tahun sehingga meraih gelar dokter (dr) dengan memiliki kecakapan teruji di bidang medis. Seorang notaris harus dilalui setelah seseorang menempuh jurusan ilmu hukum dilanjutkan dengan pendidikan profesi sehingga dinyatakan sebagai notaris dengan memiliki tugas dan kewenangan yang melekat pada dirinya.

Begitu pun seorang guru, harus melalui sejumlah persyaratan pendidikan dan pelatihan profesi ilmu keguruan yang panjang sehingga mendapatkan kewenangan profesional sebagai guru. Profesi guru ke depan tidak lagi asal-asalan, tapi menuntut sejumlah kompetensi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Seorang guru harus mencurahkan jiwanya, memiliki kecintaan akan profesinya dan dicerminkan dari penampilan, dedikasi, pengabdian dan tanggung jawab sebagai guru.

Untuk memajukan, melindungi, dan menyalurkan aspirasi, guru harus memiliki organisasi yang kuat dan disegani. Karakteristik organisasi kuat, menurut H.M. Surya, umumnya ditandai : (a) memiliki solidaritas yang tinggi; (b) pengurus dan anggota berkualitas, berkomitmen, dan terlatih dengan baik; (c) kuat dalam daya tawar dan negosiasi; (d) kuat dalam lobi dan advokasi; (e) kuat dalam aliansi dan jaringan kerja dengan stkeholder lain dan (f) diakui dan dihargai oleh pemerintah dan masyarakat.

Organisasi profesi diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang menampung aspirasi, memelihara citra, mengembangkan profesionalisme guru dan wadah perjuangan guru mendapatkan segala haknya. Asumsi semakin kuat organisasi profesi ditandai semakin tinggi pengakuan masyarakat dan secara politis semakin tinggi daya tawarnya. Denagn posisi tawar (bargaining position) kuat, guru memiliki akses dalam perumusan kebijakan pemerintah, khususnya dalam bidang pendidikan. Kontribusi guru sebagai praktisi pendidikan turut berperan dalam mewujudkan pendidikan bermutu.

Dengan adanya organisasi profesi, setiap anggota mendapat perlindungan dalam mewujudkan profesionalitasnya secara terarah dan efektif dalam suasana aman dan kondusif. Bergabungnya guru dalam wadah organisasi profesi merupakan wujud terpenuhinya persyaratan sebagai pemangku profesi jabatan guru sehingga guru mendapatkan jaminan untuk berkinerja secara optimal. Organisasi profesi dibekali kode etik sebagai standar ideal dijadikan rujukan guru dalam berperilaku untuk dipenuhi anggotanya serta dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

pelayanan dan pemberdayaan anggota,
Beberapa persoalan dicermati penulis masih menjadi pekerjaan rumah berkaitan tugas dan fungsi PGRI. Selama ini pelayanan dasar seperti mendapatkan informasi seberapa penting menjadi anggota, cara administrasi menjadi anggota atau sekadar mendapatkan nomor dan kartu anggota masih susah didapat. Di tingkat ranting sebagai ujung tombak eksistensi organisasi, irama dan denyut kegiatan organisasi masih kurang bergema atau partisipasi melibatkan kegiatan anggotanya. Keanggotaan PGRI tampaknya masih sebatas formalitas belaka. Bahkan ada pameo, kegiatan yang dikenal guru-guru hanya sebatas penggalangan dana menjadi peserta seminar, pengadaan jaket atau seragam dan upacara hari-hari besar.

Kondisi itu barangkali menjadi salah satu jawaban mengapa kesadaran kritis guru dalam berhimpun dalam organisasi profesi masih lemah? Di lapangan banyak guru yang belum menjadi anggota, skeptis, dan kalaupun terdaftar belum memiliki fanatisme dan rasa memiliki yang tinggi. Akibatnya keanggotaan pun abu-abu, apalagi tanpa didukung administrasi yang baik.

Dalam hal ini, tampaknya sosialisasi pentingnya menjadi anggota profesi harus intensif dikomunikasikan kepada guru dan tenaga kependidikan yang belum menjadi anggota. Pengurus pun harus memiliki kesiapan menyambut kedatangan anggota baru. Pendataan dan sistem adimistrasi maupun kepemilikan kartu anggota harus dibenahi sebelum berbicara lebih jauh mengenai pelayanan,hak dan kewajiban, serta AD/ART.

Tantangan PGRI ke depan agar lebih mendekatkan berbasis pelayanan kepada anggota dalam memperoleh kesejahteraan, memfasilitasi kemudahan memiliki hunian dan kendaraan bagi guru, memacu guru berprestasi dan melanjutkan studi, dan melindungi guru dari ancaman,pelecehan, atau korban ketidakadilan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pemberdayaan guru sebagai insan berkualitas. Tantangan di era digital ini, guru bukan cuma berdiri di depan kelas, tapi memerlukan pelatihan dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi yang baik. Guru pun harus terus belajar dan mau berubah sesuai tuntutan zaman.

Di bawah kepemimpinan Pengurus PB PGRI yang baru, PGRI diharapkan mampu memainkan peranan sebagai mitra pemerintah dan tetap kritis menyikapi kebijakan kurang berpihak kepada guru dan dunia pendidikan. Dengan demikian, harapan terciptanya dunia pendidikan berkualitas, guru sejahtera, dan bermartabat kian mendekati kenyataan. Semoga!

Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 04
Kec. Cibiru - bandung - Jawa Barat
Pengurus AGP PGRI Jawa Barat