oleh : Ajeng Kania
ROKOK tampaknya sudah menjadi barang wajib bagi masyakat kita. Bagi penikmatnya, rokok identik dengan lambang pergaulan, kenikmatan, penghilang stres, dan simbol sebuah kepuasan. Imbauan pemerintah tentang larangan merokok dengan mempersempit ruang gerak perokok terbukti tidak manjur. Alih alih menghentikan, kebiasaan merokok merangsek meracuni anak anak pada usia sekolah.
Hampir semua orang paham, kebiasaan merokok selain berbahaya bagi dirinya juga memengaruhi kesehatan orang di sekitarnya. Kalau ditelaah, sebatang rokok mengandung 4.000 elemen dan setidaknya ada 200 elemen yang membahayakan tubuh. Tar, zat yang terdapat dalam rokok, bersifat lengket dan menempel di paru-paru. Zat aditif nikotin bertanggung jawab pemicu kanker paru paru yang mematikan. Dan karbondioksida zat mengikat hemoglobin sehingga darah tidak mampu mengikat oksigen yang bikin sesak napas.
Menurut Pusat Data dan Informasi Depkes RI, di Indonesia 70 persen penduduknya perokok aktif. Dilihat dari sisi rumah tangga, 57 persen memiliki anggota yang merokok. Dan hampir semua perokok itu biasa melakukannya di dalam rumah bersama keluarganya. Ini berarti hampir semua orang di Indonesia bisa dikatakan perokok pasif.
Yang memprihatinkan, kini usia perokok terus bergeser ke kalangan remaja dan anak anak. Jika pada tahun 1970 perokok termuda adalah kelompok usia 15 tahun, di tahun 2004 usia perokok bergeser ke usia 7 tahun. Temuan ini berdasarkan Sensus Sosial Nasional (2004), yang menunjukkan perokok aktif kelompok usia 13 15 tahun mencapai 26,8 persen dan usia 5 9 tahun terdata 1,8 persen.
Persentase ini dihitung dari total populasi setiap kelompok. Lebih mencengangkan lagi sepanjang periode 2001 2004, jumlah perokok aktif dari kalangan usia 5 9 tahun meningkat hingga 400 persen. Seperti dilansir Kompas (11/1) dengan ledakan perokok usia anak, maka diprediksi di tahun 2020 kemungkinan besar profil penderita penyakit akibat merokok di Indonesia adalah generasi yang berusia lebih muda.
Persoalan rokok ibarat pedang bermata dua membuat pemerintah dilematis. Di satu sisi berpotensi terdegradasi kualitas kesehatan masyarakat, namun di sisi lain industri rokok bukan saja tambang pendapatan pemerintah menggiurkan, tapi juga menyerap jutaan tenaga kerja, mulai karyawan, distributor, agen/sales bahkan petani cengkih dan tembakau. Akibatnya, imbauan pemerintah pun tenggelam oleh iklan dan promosi gencar perusahaan rokok, bahkan mampu menjadi penyandang dana kegiatan yang semestinya antirokok seperti even olahraga, pentas kreativitas siswa, dan beasiswa.
Rokok Bukan Konsumsi Anak-anak
Mungkin inilah win win solution (jalan tengah) antara pemerintah dan industri rokok menyikapi persoalan yang tak berkesudahan ini ketimbang kebijakan ekstrem menutup pabrik rokok. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas mengatur larangan merokok di kalangan anak anak, meliputi aspek: larangan kepada anak untuk mengonsumsi rokok, menjual rokok kepada anak, penjualan rokok oleh anak, serta pengaturan ketat terhadap iklan dan promosi rokok, khususnya di kawasan pendidikan.
Saat ini sesungguhnya Indonesia telah memiliki aturan pembelian rokok, yaitu anak di bawah usia 18 tahun tidak dibolehkan membeli rokok. Akan tetapi, aturan itu hanya sebuah slogan semata yang hampir tanpa efek sama sekali. Untuk melindungi korban anak, beberapa organisasi sosial seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan FK PPAI merekomendasikan perlu undang undang larangan merokok bagi anak anak. Upaya ini diharapkan cukup efektif untuk menekan peredaran rokok yang semakin tak terkendali di kalangan remaja dan anak anak.
Untuk itu, pemerintah dituntut tegas menjalankan aturan sehingga aturan itu tegak dan berwibawa. Sebagus apa pun aturan, bila yang menjadi "teladan" bagi mereka, seperti orang tua, guru, atau pejabat, masih mempertontonkan kebiasaan merokok di hadapan mereka, aturan itu akan sia sia belaka. Di samping pergaulan sesama kawannya, secara tidak sadar, habituasi anak merokok diperkenalkan oleh orang tuanya sendiri. Seorang ayah terbiasa menyuruh membelikan rokok atau meminta anak menyalakan rokok dengan cara diisap dulu untuk dirinya.
Sulit menyuruh agar anak tidak merokok jika sehari hari menjumpai sang ayah tengah menikmati sebatang rokok ditemani secangkir kopi hangat di kursi malasnya. Sementara guru di kelas atau guru agama tidak bisa berkonsentrasi mengajar tanpa tarikan asap rokok. Ataupun begitu asyiknya pejabat atau anggota dewan memainkan kepulan asap rokoknya saat dengar pendapat atau berdiskusi yang disorot jutaan pemirsa televisi di tanah air.
Semua itu menjadi bahan renungan, mengapa anak anak usia sekolah menyukai rokok? (*)
Penulis, Guru SDN Taruna Karya 04 Cibiru Bandung
BEWARA REUNI ALUMNI PGSD KAMPUS CIBIRU ANGKATAN 1996
13 tahun yang lalu